Sampai saat
ini masyarakat ditatar sunda masih gamang tentang apa agama Sunda Wiwitan itu.
Memang kadang-kadang ada halangan yang terkait dengan masalah keyakinan,
terutama ketika suatu keyakinan tersebut dikatagorikan pada istilah animisme
dan dinamisme, karena dimata bayangnya menunjuk pada urusan surga dan neraka.
Istilah Sunda Wiwitan memang asyik di “haleuangkeun” dalam lagu-lagu rakyat atau di “padungdengkeun” dalam seminar-seminar atau saresehan. Tetapi mencari dan mengetahui kesejatian dari ajaran ini agak sulit dan nyaris tak diketahui. Mungkin juga masalahnya karena ketertutupan dari para penganutnya, atau ada semacam eliminasi dari kita yang mengaku kaum beragama.
Istilah Sunda Wiwitan memang baru ditemukan di masyarakat sunda, karena dahulu hanya disebutkan sebagai agama penyembah nenek moyang. Sejalan dengan maksud ini didalam rintisan sejarah Jawa Barat Jilid 4 dijelaskan pula “agama orang Pajajaran itu sulit ditentukan namanya berdasarkan nama-nama agama yang dikenal umum”. Pleyte (1905) menyebutkan pula “pemelukan terhadap suatu agama (di masyarakat sunda) hanya berlaku bagi lingkungan kraton dan para pejabat. Rakyat tetap setia kepada agama ajaran leluhurnya yang pemujaan roh nenek moyang (pitarapuja).
Pendapat diatas juga diketahui sejak jaman Tarumanagara. Sang Rajaresi (358 – 382) Raja Tarumanagara ketika itu, berusaha untuk mengajarkan ajaran agamanya dengan cara mendatangkan para brahmana dari India, namun hanya berhasil terhadap para penghulu, sedangkan masyarakat dipedesaan masih tetap menganut agama nenek moyangnya. Halnya yang sama pernah pula di upayakan ketika jaman Dewawarman di Salakanagara. Namun mengalami hal yang sama
Istilah Sunda Wiwitan memang asyik di “haleuangkeun” dalam lagu-lagu rakyat atau di “padungdengkeun” dalam seminar-seminar atau saresehan. Tetapi mencari dan mengetahui kesejatian dari ajaran ini agak sulit dan nyaris tak diketahui. Mungkin juga masalahnya karena ketertutupan dari para penganutnya, atau ada semacam eliminasi dari kita yang mengaku kaum beragama.
Istilah Sunda Wiwitan memang baru ditemukan di masyarakat sunda, karena dahulu hanya disebutkan sebagai agama penyembah nenek moyang. Sejalan dengan maksud ini didalam rintisan sejarah Jawa Barat Jilid 4 dijelaskan pula “agama orang Pajajaran itu sulit ditentukan namanya berdasarkan nama-nama agama yang dikenal umum”. Pleyte (1905) menyebutkan pula “pemelukan terhadap suatu agama (di masyarakat sunda) hanya berlaku bagi lingkungan kraton dan para pejabat. Rakyat tetap setia kepada agama ajaran leluhurnya yang pemujaan roh nenek moyang (pitarapuja).
Pendapat diatas juga diketahui sejak jaman Tarumanagara. Sang Rajaresi (358 – 382) Raja Tarumanagara ketika itu, berusaha untuk mengajarkan ajaran agamanya dengan cara mendatangkan para brahmana dari India, namun hanya berhasil terhadap para penghulu, sedangkan masyarakat dipedesaan masih tetap menganut agama nenek moyangnya. Halnya yang sama pernah pula di upayakan ketika jaman Dewawarman di Salakanagara. Namun mengalami hal yang sama
Di kawasan Provinsi Banten, masih terdapat gejala religi “agama masa silam”, dan masih di anut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri “Sunda Wiwitan” (Sunda awal). Menurut adat dan kepercayaan, orang-orang Baduy mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka dan melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan penganut suatu sekte Hindu ataupun Budha.
Walaupun
kurang terdapat keterangan terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan
laporan resmi Djajadiningrat serta pengamatan Pennings (1902), Van Tricht
mengemukakan tentang agama Sunda sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama ini
merupakan agama tua yang di peluk oleh penghuni wilayah Jawa Barat (sekarang)
yang permulaan penyebaran agamanya sedikit sekali di pengaruhi oleh agama Hindu.
Mengenai
jejak religi masa silam seperti itu berdasarkan sebagaimana berikut : sesuai
dengan kehidupan leluhurnya yang masih biasa berpindah-pindah tiap habis musim
panen, watak agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti praktis, akrab
dengan alam dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk.
Praktis
sehingga dapat di laksanakan di manapun mereka berada.Akrab dengan alam
sehingga lebih mengutamakan keheningan mutlak daripada kehirukpirukan Massa.
Lebih mementingkan isi ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak di dasarkan
kepada nilai-nilai materil benda-benda upacaranya melainkan dalam hati dan
tingkah laku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar