Periode klasik tua Jawa Barat
dimaksudkan sebagai periode budaya yang sejaman dengan Kerajaan Tárumanágara.
Kerajaan Tárumanágara meninggalkan beberapa prasasti yang juga diperkuat dengan
beberapa berita asing yang menyebutkan tentang keberadaan Tárumanágara. Namun
demikian data yang ada tersebut belum dapat dipakai untuk mengungkap sejarah
kerajaan tersebut secara menyeluruh.
Prasasti-prasasti yang berkaitan
dengan kerajaan Tárumanágara yang pernah ditemukan yaitu prasasti Ciaruteun,
Pasir Koleangkak, Kebonkopi I, Tugu, Pasir Awi dan Muara Cianten, serta
prasasti Cidanghiang (Sumadio, 1990: 39-42). Prasasti Ciaruteun dikenal juga
dengan nama prasasti Ciampea ditemukan di Ciampea, Bogor, pada pinggir sungai
Ciaruteun. Prasasti ini terdiri empat baris dalam bentuk puisi India dengan iramaanustubh,
menyebutkan nama Purnawarman raja negeri Táruma. Selain itu terdapat lukisan
labah-labah dan tapak kaki yang dipahatkan di atas hurufnya.
Prasasti Pasir Koleangkak ditemukan di
Bukit (Pasir) Koleangkak, Bogor. Di dalamnya disebutkan nama raja Sri
Purnawarman yang memerintah di Táruma. Prasasti Kebonkopi terletak di kampung
Muara Hilir, Cibungbulang, ditulis dalam bentuk puisi anustubh.
Pada prasasti ini terdapat pahatan dua tapak kaki gajah yang dipersamakan
dengan tapak Airawata.
Prasasti Tugu ditemukan di Tugu,
Jakarta merupakan prasasti terpanjang dari masa Purnawarman. Tulisannya
dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar, berbentuk puisianustubh.
Di dalamnya menyebutkan adanya dua buah sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati.
Selain itu juga disebutkan adanya upacara selamatan yang dilakukan oleh
Brahmana.
Prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten
ditulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini juga
terdapat gambar tapak kaki. Prasasti Cidanghiang ditemukan di kampung Lebak,
Kecamatan Munjul, Pandeglang pada pinggir sungai Cidanghiang berisi dua baris
berhuruf Pallawa yang juga berbentuk puisianustubh. Isi
prasasti memuliakan nama raja Purnawarman.
Berita asing yang menyebut kerajaan
Táruma berasal dari Cina. Berita dari masa dinasti Soui mengatakan
bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari To-lo-mo. Tahun
666 dan 669 pada masa dinasti T’ang Muda juga datang utusan
dari To-lo-mo(Sumadio, 1990: 43-44).
Dalam sejarah lama dinasti Sung
disebutkan bahwa Ho-lo-tan di She-po pernah mengirim utusan ke Negeri Cina pada
tahun 430, 433, 434, 436, 437, dan terakhir 452. Menurut O.W. Wolters sebutan
She-po adalah Jawa sedangkan Ho-lo-tan berada di Jawa Barat (Wolters, 1967:
160-161). Sebutan Ho-lo-tan sangat bersesuaian bunyi dengan Aruteun.
Berdasarkan kesesuaian bunyi tersebut Slamet Mulyana menyimpulkan bahwa
Ho-lo-tan adalah kerajaan Aruteun yang berpusat di muara Ci Aruteun. Dengan
melihat catatan Cina kerajaan ini mulai mundur pada tahun 452 dan selanjutnya
ditaklukkan Táruma (Mulyana, 1980: 7-15). Menurut Satyawati Suleiman
berdasarkan teori L. Ch. Damais yang menyatakan bahwa Ho adalah Wa maka
Ho-lo-tan mungkin berasal dari Waratan. Ci sama dengan Cai, dan Ca di Jawa
Barat kadang-kadang menjadi Wa misalnya caringin menjadi waringin.
Cai adalah Wai kata untuk air atau sungai maka Ho-lo-tan mungkin
wairatan sekarang menjadi ciaruteun (Suleiman, 1980: 378-379). Berdasarkan
prasasti dan berita Cina dapat disimpulkan bahwa pada jaman klasik tua di Jawa
Barat terdapat kerajaan Táruma yang pernah menaklukkan kerajaan Aruteun
(Ho-lo-tan). Mengenai kondisi sejarah klasik tua Jawa Barat memang cenderung
masih debatable.
Berdasarkan data yang ada diduga
kerajaan Tárumanágara berlangsung dari abad V hingga akhir abad VII M.
Runtuhnya Tárumanágara diperkirakan karena serangan Sriwijaya. Pada prasasti
Kotakapur (686 M) dan Palaspasemah disebutkan bahwa Sriwijaya akan menyerang Bhũmijawa yang tidak mau tunduk kepada
Sriwijaya. Banyak pendapat mengenai sebutan Bhũmijawa. P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa katajawa berarti
luar negeri. Boechari berpendapat yang dimaksudbhũmijawa dalam
prasasti Kotakapur adalah nama daerah di Lampung Selatan. Sedangkan G. Coedès
dan Satyawati Suleiman berpendapat bahwa yang dimaksud bhũmijawa adalah
kerajaan Táruma, yang sejak tahun 666 – 669 M sudah tidak lagi mengirimkan
utusan ke Cina. Ekspansi kekuasaan Sriwijaya di Jawa juga diperkuat dengan
adanya prasasti Juru Pangambat di Jawa Barat dan prasasti Gondosuli di daerah
Kedu, Jawa Tengah (Sumadio, 1990: 58).
b. Periode Klasik Muda
Runtuhnya Tárumanágara kemudian
digantikan oleh Kerajaan Sunda. Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan
adanya kerajaan di Jawa Barat bernama regño de çumda telah
mengadakan hubungan dagang dengan Portugis (Cortesão, 1967: 412-416). Berita
Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960:
44). Prasasti Kebon Kopi (854 Ś atau 932 M)
atau juga disebut prasasti Juru Pangambat, Bogor menyebut adanya ba(r)
pulihkan haji sunda (Sumadio, 1990: 356).
Prasasti lebih muda yang menyebut
Kerajaan Sunda yaitu prasastiSanghyang Tapak berangka
tahun 952 Ś atau 1030 M.
Dalam prasasti ini disebut tokoh yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati
Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah kekuasaannya disebut Prahajyan
Sunda. Sri Jayabhupati, dalam naskah Carita Parahyangan dapat
disejajarkan dengan Sang Rakeyan Darmasiksa (Sumadio, 1990: 360-364).
Prasasti Kawali I sampai VI yang ditemukan di situs Astana Gede,
Kawali diantaranya menyebut pemerintahan Prabu Raja Wastu yang kerajaannya
beribukota di Kawali. Prasasti Kawali I – VI beraksara dan berbahasa Sunda
Kuna. Prasasti-prasasti itu tidak mencantumkan angka tahun, akan tetapi
berdasarkan bentuk paleografi dan bahasanya dapat diperkirakan berasal dari
abad XIV (Nastiti, 1996: 26). Nama Prabu Raja Wastu juga terdapat pada prasasti
lainnya yaitu prasasti Batutulis (Purbacaraka, 1921) dan prasasti Kebantenan
(Buchari, 1985: 104). Pada kedua prasasti itu disebut Rahyang Niskala Wastu
Kañcana.
Dari prasasti Kebantenan dapat
diperoleh mengenai raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu
Kañcana digantikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan
ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan
bahwa Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana,
putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup)
Niskala Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di
Gunungtiga (Ayatrohaédi, 1986: 26).
Sepeninggal Wastu Kañcana,
pemerintahan di Kerajaan Sunda digantikan oleh Tohaan di Galuh atau
Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita
yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti
Kebantenan, tokoh ini disebutSusuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran.
Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti
tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (Yang
membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa
pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran
(Sumadio, 1990: 368-369). Menurut berita Portugis dari Tomé Pires, pada masa
ini sudah mulai ada penetrasi dari masyarakat Islam (Cortesão, 1944: 1973).
Sejak itulah Kerajaan Sunda mulai memasuki masa kemundurannya.
BEBERAPA
TINGGALAN ARKEOLOGITinggalan arkeologi masa klasik cenderung berupa arca atau
bangunan candi. Bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jawa Barat
merupakan kawasan yang sangat miskin candi. Satu-satunya candi yang telah
dibina kembali adalah Candi Cangkuang di Garut. Penelitian yang pernah
dilakukan di Jawa Barat telah menemukan beberapa candi. Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional pernah mengadakan penelitian di Candi Ronggeng Dusun
Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Ciamis. Penelitian itu berhasil
menampakkan struktur batu yang merupakan sisa bangunan candi. Selain itu juga
ditemukan arca nandi dan yoni (Yondri dan Etty, 2000: 102).
Situs Batu Kalde di Semenanjung Pangandaran, Ciamis terdapat
arca nandi dan batu-batu candi. Setelah dilakukan ekskavasi terlihat struktur
yang terdiri antara satu hingga tiga lapis. Di bawah struktur terdapat batu
karang yang dipadatkan. Bangunan terdiri dari dua yang salah satunya berdenah
segi empat dengan ukuran 12 X 12 m. Bentuk bangunan diperkirakan hanya berupa
selasar dengan bagian atap merupakan bangunan dari bahan yang mudah rusak
(Ferdinandus, 1990: 292-296).
Di Daerah Karawang terdapat situs
Batujaya. Penelitian selama ini telah menampakkan beberapa struktur bangunan
candi dan kolam. Selain itu juga ditemukan arca kepala, hiasan bangunan yang
terbuat dari stucco, dan votive
tablet yang kesemuanya mencirikan agama Buda. Berdasarkan
temuan yang ada diperkirakan situs Batujaya berasal dari dua tahap yaitu
tahap pertama abad V-VII M (masa Tarumanagara) dan tahap kedua abad VII-X M
(masa pengaruh Sriwijaya). Beberapa candi ini memiliki fungsi yang khas seperti
candi induk, candi peribadatan, candi penghormatan, kolam, dan sebagainya
(Djafar, 2001: 3-4).
Situs candi yang terakhir ditemukan
adalah situs Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten
Bandung. Situs ini ditemukan pada bulan Agustus 2002 dan selanjutnya pada bulan
September 2002 dilakukan ekskavasi. Hasil ekskavasi menunjukkan candi terbuat
dari batuan volkanik. Bagian yang tersisa adalah kaki candi. Profil kaki
menunjukkan bingkai padma yang dipadu dengan bingkai persegi. Denah bangunan
segi empat berukuran 6 X 6 m. Indikator tangga masuk ditemukan di sisi timur.
Berdasarkan profil kaki tersebut diperkirakan Candi Bojongmenje berasal dari
abad VII atau VIII (Djubiantono dan Saptono, 2002). Analisis C14 terhadap tanah yang mengandung karbon,
menghasilkan penanggalan Candi Bojongmenje pada 1300 BP atau 650 AD.[1]
Kegiatan pasca ekskavasi di situs Bojongmenje menemukan beberapa
data baru yang cukup signifikan. Pada waktu pendirian pagar pengaman telah
ditemukan fragmen yoni dan bagian kemuncak. Selanjutnya ketika dilakukan
persiapan pemugaran ditemukan batu bagian tubuh candi, antefik, fragmen arca
nandi, dan kemuncak. Di sebelah timur (depan) candi ditemukan struktur bangunan
lain yang terbuat dari bata. Berdasarkan temuan-temuan ini dapat disimpulkan
bahwa struktur Candi Bojongmenje merupakan bangunan yang lengkap mulai dari
kaki, tubuh, dan puncak. Dengan ditemukannya fragmen yoni dan fragmen arca
nandi menunjukkan sifat Hinduistis.
Selain bangunan candi, di Jawa Barat
banyak ditemukan situs yang bercorak seperti bangunan megalitik tetapi
mengandung unsur klasik. Bangunan-bangunan seperti ini tersebar di seluruh
wilayah Jawa Barat terutama di dataran tinggi. Situs-situs dengan bangunan
seperti ini dikenal dengan sebutan kabuyutan.
Berdasarkan isi prasasti dan naskah kuna, kabuyutankabuyutanmerupakan
suatu ideologi yang diwariskan secara turun temurun melalui ketaatan terhadap pikukuh. Dalam
hal ini kabuyutandianggap sebagai pusat
kekuatan batin (Saringendyanti, 1996: 30-31).
AKHIR PEMIKIRAN
Jawa Barat memang merupakan kawasan yang miskin candi bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini bangunan candi atau unsur bangunan candi telah ditemukan yaitu komplek percandian Batujaya di Karawang, Candi Cangkuang di Garut, situs Tenjolaya di Cicalengka, serta candi Ronggeng dan candi Pananjung di Ciamis. Penemuan candi di Kampung Bojongmenje menjadikan pemicu untuk menelaah perkembangan peradaban masa klasik di Jawa Barat.
Jawa Barat memang merupakan kawasan yang miskin candi bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini bangunan candi atau unsur bangunan candi telah ditemukan yaitu komplek percandian Batujaya di Karawang, Candi Cangkuang di Garut, situs Tenjolaya di Cicalengka, serta candi Ronggeng dan candi Pananjung di Ciamis. Penemuan candi di Kampung Bojongmenje menjadikan pemicu untuk menelaah perkembangan peradaban masa klasik di Jawa Barat.
Prasasti dan berita Cina menyebutkan bahwa pada abad V sudah ada
institusi berupa kerajaan yang merupakan pusat peradaban. Di daerah Bogor
sekarang setidaknya tercatat dua kerajaan yang pernah berdiri. Kerajaan Aruteun
(Ho-lo-tan) kemudian ditaklukkan oleh Táruma (To-lo-mo). Kerajaan Táruma
akhirnya mengalami masa kemunduran. Setelah masa ini Jawa Barat mengalami
kekosongan kekuasaan hingga muncul kembali pada tahun 932 M sebagaimana
disebutkan dalam prasasti Kebon Kopi.
Masa antara 686 hingga 932 walupun secara politis merupakan masa
kekosongan, namun peradaban tetap berjalan. Beberapa candi yang diperkirakan
berasal dari masa kekosongan itu menunjukkan bahwa peradaban tidak mengalami
stagnasi. Apabila suatu institusi kekuatan politik dijadikan indikator sebagai
pusat peradaban, maka masa antara 686 hingga 932 tidak berarti masa tanpa
kekuatan politik. Mungkin kekuatan politik ketika itu berada di bawah kontrol
kekuatan politik yang lebih besar.
Hipotesis yang menyatakan bahwa
percandian Batujaya berasal dari dua tahap yaitu tahap pertama abad V-VII M
(masa Tárumanágara) dan tahap kedua abad VII-X M (masa pengaruh Sriwijaya)
perlu dilakukan penjelasan. Masa Tárumanágara telah banyak meninggalkan data
sejarah berupa prasasti. Sesudah masa itu tidak ada lagi prasasti yang
ditemukan. I’tsing pada tahun 692 menyebut salah satu negara di Laut Selatan
yaitu Mo-ho-sin sesudah Shih-li-fo-shih dan Ho-ling. Shih-li-fo-shih merupakan
transliterasi dari Sriwijaya sedangkan Ho-ling adalah Keling di lembah S.
Brantas, Jawa Timur. Wolters berpendapat bahwa Mo-ho-sin terletak di Jawa Barat
(Wolters, 1967: 241-245). Mo-ho-sin adalah bhagasin yang
artinya berbahagia. Bhagasin oleh I’tsing ditransliterasikan menjadi Mo-ho-sin.
Kata bhagasin sekarang menjadi Bekasi (Mulyana, 1980:
32-37). Dengan demikian percandian di Batujaya pada tahap kedua merupakan
percandian dari masa Bhagasin yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Candi-candi di kawasan timur Jawa
Barat (Ciamis) juga merupakan indikator pusat peradaban. Patut disayangkan
candi-candi di kawasan ini belum dapat diperkirakan titimangsanya. Di kawasan
ini menurut Carita Parahyangan berkaitan
dengan tokoh Sañjaya. Tokoh ini juga tertulis pada prasasti Canggal (732 M). Di
dalam prasasti tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya
yang bernama Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubungan darah.
Carita Parahyangan menghubungkan tokoh Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh,
karena di situ dikatakan bahwa Sena, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut
sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut,
Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat
di Galuh (Sumadio, 1990: 357-358).
Dalam hubungannya dengan Candi
Bojongmenje, kawasan ini menunjukkan sebagai pusat peradaban Hindu. Rapporten
van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914 yang
disusun oleh N.J. Krom belum memuat adanya objek purbakala di sekitar
Rancaekek. Dalam laporan itu dimuat adanya runtuhan candi di Tenjolaya,
Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya
Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di
daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di
Cibeeut ditemukan patung Ganeśa (Krom, 1915:
48-49). Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m
sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat
setempat disebut pamujan.Di situs ini pernah
ditemukan patung Durga (Iskandar, 1997: 104).
Kawasan ini berhubungan dengan kendan yang
sekarang menjadi nama desa. Menurut J. Noorduyn kendan merupakan
“perusakan” dari kata kaindraan. Dalam Carita
Parahyangan daerah Kendan ada kaitannya dengan kehadiran Wretikandayun. Tokoh
ini adalah ayah Rahyang Mandiminyak atau kakek Sañjaya (Ayatrohaedi, 2002:
2-3). Meskipun secara pasti kaitan antara Bojongmenje dengan masa awal kerajaan
Sunda belum dapat dipastikan, namun sedikit gambaran ini dapat dijadikan bahan
renungan sementara. Dengan demikian beberapa tinggalan arkeologi dari masa
klasik, khususnya bangunan candi, yang pada akhir-akhir ini ditemukan di Jawa
Barat dapat dijadikan bahan pemikiran bahwa walaupun secara politis di Jawa
Barat pernah mengalami masa kekosongan, namun perkembangan peradaban tetap
berlangsung. Di Jawa Barat, antara masa Tárumanágara dan Kerajaan Sunda
terdapat masa yang perlu pengkajian mendalam.
Mungkin tidaklah berlebihan bahwa Bumi Nusantara adalah Bumi yang paling banyak macam-macam agama yang ikut mewarnai Bumi Nusantara. Entah berapa jumlahnya yang pasti agama Budha pun turut serta menghiasi Nusantara. Tentang agama ini, lagi-lagi dengan melihat historis tentang Bumi Nusantara yang sudah dari dulu menjadi persinggahan utama dan penghubung pedagang dari berbagai negara.
Peziarah
Buddha, yang melakukan ritual keagamaan mereka di
Borobudur, Buddha merupakan agama tertua kedua di
Nusantara, tiba pada sekitar abad ke-6 Masehi. Sejarah Buddha
di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama.
Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang
mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara.
Sejumlah warisan dapat ditemukan di Bumi Nusantara, mencakup candi Borobudur di
Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha
yang lebih awal.
Begitupun
Banten, walaupun Budha Kurang menguasai Banten akan tetapi masih banyak di
temui acra-arca walaupun tidak sebesar Candi Borobudur dll, akan tetapi
setidaknya sedikit menjelaskan Budha pernah mewarnai Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar