Kamis, 31 Mei 2012

Pesona Air Terjun Curug Cikaso

 

KABUPATEN Sukabumi ternyata terkenal dengan keanekaragaman wisata alam, mulai dari pantai hingga pegunungannya. Salah satunya yang paling favorit nan megah adalah air terjun Curug Cikaso.
 
Air terjun dengan ketinggian hampir 80 meter ini memiliki 3 air terjun dan lebar tebingnya hampir 100 meter, tepatnya berada di kampung Ciniti, kelurahan Cibitung, Kecamatan Cibitung, Jampang Kulon. Lokasinya berada sekitar 70 km dari Sukabumi atau sekitar 1,5 jam bila perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.
 
Curug Cikaso dihiasi bebatuan besar di kiri dan kanannya serta pepohonan, sehingga menambah keasrian alam curug ini. Masing-masing air terjun mempunyai nama. Air terjun sebelah kiri bernama Curug Asepan, tengah bernama Curug Meong dan kanan bernama Curug Aki.
 
Untuk melangkahkan kaki kita sampai di air terjun Curug Cikaso, selain bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang menyusuri pematang sawah, juga bisa dicapai dengan naik perahu motor dengan melewati bantaran sungai. 
 
Nama asli Curug Cikaso sebenarnya Curug Ciniti, sesuai nama kampung wilayah tersebut, namun karena melewati aliran sungai Cikaso, maka masyarakat lebih banyak menyebutnya dengan nama Curug Cikaso.
 
Air terjun Curug Cikaso menjadi favorit bagi wisatawan dalam liburan panjang. Nikmati serunya basah-basahan di air terjun yang cantik ini. Bila sampai di Kampung Ciniti, Anda akan disuguhkan dengan pemandangan sawah dan aliran sungai yang benar-benar bisa memanjakan mata. 
 
Beberapa meter mendekati curug sudah bisa mendengar gemuruh air yang jatuh dari ketinggian. Begitu sampai di Curug Cikaso, mulailah terlihat jelas lukisan alam yang indah. Air yang terjun bebas dari ketinggian hampir 80 meter makin memperkaya pemandangan.
 
Curug Cikaso terbentang megah dengan deburan airnya yang berwarna putih. Pengunjung akan disuguhkan 3 buah air terjun sekaligus. Bermain air atau berenang di kolam alami hasil hempasan air terjun adalah kegiatan yang paling seru. Jangan takut jika pakaian Anda basah, karena curug sudah dilengkapi oleh fasilitas, Curug Cikaso, lokasi air terjun ini berada di kawasan wisata Ujung Genteng. Cikaso adalah nama sungai yang mengalir dari hulunya yang terletak di Sukabumi Utara hingga berakhir dengan muaranya di Pantai Selatan di daerah Kecamatan Surade, Sukabumi Selatan. Dari hulu hingga muaranya, air sungai Cikaso mengaliri beberapa tebing-tebing yang curam sungai membentuk curahan air terjun yang yang menakjubkan. Lokasi wisata air terjun Cikaso ini akan menjadi pelengkap wisata bahari di Ujung Genteng setelah cukup puas menikmati pesona laut pantai-pantai di Ujung Genteng, inilah lokasi yang tepat untuk berenang di air tawar.
 
Arung jeram
 
Air yang mengalir dari Hulu di daerah pegunungan Sukabumi Utara, disepanjang alirannya menuju Sukabumi Selatan (Pantai Selatan) rupanya menghasilkan aliran yang cukup deras dengan riam dan jeram menantang bagi para pehobi olahraga air untuk kegiatan pengarungan riam (white water rafting). Sungai Cikaso memang belum banyak dikenal oleh para penggiat arung jeram, maklum letaknya jauh di daerah Jampang Kulon di pelosok pantai selatan Jawa Barat yang jauh dari lintasan umum. Padahal sungai ini mempunyai potensi yang tak kalah menarik dari sungai-sungai lain yang sudah lebih dulu diarungi. Jeram-jeramnya berkelas II sampai VI, dengan lebar sungai yang bervariasi antara 50 m hingga 100 m ditambah dengan pemandangannya yang cukup mengasyikkan karena terdapat banyak air terjun di kanan kiri sungai.
 
Menurut informasi dari penduduk setempat (Jampang Kulon), belum banyak para pelaku Arung Jeram yang mencoba berarung jeram di sungai ini. 
 
Curug Cikaso ini memang masih dikelola oleh masyarakat setempat, tiket masuknya pun masih tergolong murah meria, cukup dengan mengganti uang sebesar Rp. 1.500,-
 
Di sana sudah terdapat 4 buah warung makan, 1 buah warung souvenir yang menjual kaos- kaos bertuliskan dan bergambar Curug Cikaso serta dua buah toilet. Para pengunjung banyak yang asik berfoto ria sambil berenang atau sekedar main air sambil duduk di bebatuan. Tidak sedikit remaja yang berani berenang di pinggiran air terjun untuk sekedar mencapai batu-batu besar.
 

Misteri Keindahan Alam Green Canyon

 

Rasanya ada yang kurang kalau berlibur Pangandaran Kabupaten Ciamis, tanpa mengunjungi lokasi wisata Green Canyon. Area wisata air yang terletak di Desa Kertayasa Kecamatan Cijulang ini menjadi favorit bagi masyarakat yang menyukai keindahan alam, berenang dialam bebas, hingga menantang adrenalin yakni berenang diarus deras atau melompat dari ketinggian 10 meter.
 
Untuk mencapai lokasi, dari wisata Pangandaran, kita bisa menempuh perjalanan menggunakan kendaraan roda empat sekitar 30 menit. Pastikan mobil dalam kondisi prima karena harus melewati jalan yang kurang bagus dan bergelombang. Sementara kalau dari arah Kota Bandung, dibutuhkan sekitar enam jam perjalanan.
 
Setibanya di lokasi, pengunjung sudah disediakan parkir cukup luas yang dikelilingi rumah makan yang sederhana dan asri. Untuk masuk lokasi, pengunjung dibebankan tarif Rp70.000. Uang sebesar itu sudah termasuk tiket masuk dan sewa perahu hingga ujung tujuan Green Canyon.
 
Di pintu start itu, air Green Canyon sudah berwarna hijau. Namun tidak ada penjelasan memuaskan soal kenapa air disana berwarna hijau. Andriana, staf pengelola Green Canyon mengatakan, air tersebut sudah berwarna hijau dari dulu. Kalaupun berubah terjadi saat hujan deras, tetapi warna hijaunya tetap ada.
 
“Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Kalau hujan deras, suka sedikit keruh. Warnanya jadi hijau kecoklatan. Tetapi tetap hijau. Tetapi hijau ini memang airnya cukup dalam sekitar tiga meteran. Jadi warnanya terpantul tumbuhan disekitar,” kata Andri kepada INILAH, belum lama ini.
 
Untuk menempuh lokasi tujuan, pengunjung harus menyusuri sungai dengan menumpang perahu tradisional. Beberapa tahun terakhir sudah lumayan karena perahunya menggunakan mesin meskipun berkekuatan knot rendah.
 
Sepanjang perjalanan, suguhan keasrian alam terpampang sangat jelas. Tebing-tebing yang terkikis air membentuk curam alami. Ada juga beberapa air terjun kecil yang terbentuk secara alami. Air sungai pun mengalir tenang menghanyutkan.
 
Setibanya di lokasi akhir, pengunjung dipaksa harus turun dari perahu. Tetapi disini keindahan alam sesungguhnya yang menjadi tujuan. Selain berenang, pengunjung bisa menyusuri sungai melewati bebatuan curam. Tak jarang kita akan bertemu air terjun hingga bebatuan yang membentuk tebing-tebing stalaktit dan stalagmi. Sementara bagi penyuka tantangan, berenang mengikuti derasnya air atau melompat dari tebing dengan ketinggian sekitar 10 meter bisa jadi pilihan.
 
“Disini aman tidak ada kejadian apapun. Kalau memang ingin tantangan ekstrem, ada fasilitasnya. Pokoknya ikuti saja petunjuk guide-guide disini. Mereka sangat tahu dan paham,” ujar Ujang, guide yang membawa INILAH ke lokasi.
 
Namun selama perjalanan, pengunjung dilarang untuk berenang di sungai. Termasuk larangan untuk membuat gerakan-gerakan ekstrem disekitar perahu. Saat dikonfirmasi soal kemungkinan ada buaya, Ujang tak banyak berkomentar. “Pokoknya jangan ya. Lebih baik ikuti semua petunjuk kami,” tegasnya. (dery fitriadi ginanjar/ing) 

 

 
 

 

Rabu, 30 Mei 2012

masyarakat sunda


Sebelum membahas masyarakat Sunda, saya akan menjelaskan tentang istilah Sunda dan Jawa Barat serta lingkungan atau demografi pada Sunda itu sendiri.
Istilah Sunda maupun  Jawa barat telah masuk di dalam hidup kita yang menunjukkan kepada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan, dan sosial. Kedua istilah tersebut kadang-kadang menunjukan pengertian yang sama tetapi kadang kadang menunjukan pengertian yang berbeda pula atau malah kadang dicampur-adukan. Akibatnya , tercipta suasana yang si satu pihak meliputi keraguan tetapi disisi lain bisa menjadi ketakutan atau sebaliknya karena pertimbangan politis.
Menurut R.W. van Bemmelen (1949), sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian baratlaut wilayah Indonesia Timur, sedangkan dataran tenggara dinamai sahul. Dataran sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar yang panjangnya 7000km.
Menurut data sejarah, sunda adalah wilayah di bagian Barat pulau dengan segala aktivitas kehidupan manusia di dalamnya, muncul untuk pertama kalinya abad ke-9M. Istilah tersebut ditemukan pada Kebon kopi, Bogor beraksara Jawa kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Sunda didirikan oleh kerajaan Sunda yang tidak jelas kapan didirikannya.  Menurut sumber Sunda didirikan oleh Maharaja tarusbawa.
Istilah sunda sebagai nama kerajaan atau paling tidak sebagai nama wilayah atau tempat, tercatat pula dalam prasasti lain dan dalam  empat buah  naskah berbahasa sunda yang dibuat pada akhir  abad ke-15 atau ke 16 Masehi. Prasasti itu adalah prasasti sanghiyang tapak yang beraksa.  Prasasti Sanghiyang tapak dikeluarkan oleh Sri jayabhupati pada tahun 952 Saka atau 1030 masehi
Sesudah Kerajaan sunda runtuh, wilayahnya terbagi atas: Sumedanglarang, banten, Cirebon dan Galuh. Selanjutnya, bekas wilayah Kerajaan Sunda disebut Tanah Sunda atau Tatar Sunda atau Pasunda.
Orang Sunda adalah orang yang mengaku dan diakui oleh orang lain bahwa dia keturunan/mempunyai hubungan darah sunda. Orang Sunda biasanya disebut urang, gunung, wong gunung dan tiyang gunung, artinya orang gunung.
Sunda dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh,dan berkembang di kalangan orang sunda yang pada umumnya berdomisili di tanah sunda.
Pengertian Jawa Barat hanya mengandung pengertian wilayah yang berkaitan dengan pembagian wilayah admininstrasi pemerintahan, secara historis pengertian Jawa Barat sama dengan Sunda. Namun sekarang, dengan telah terbentuknya Provinsi Banten, kiranya makna Jawa barat lama-kelamaan akan mengalami perubahan.
Lokasi
          Secara geografis, Jawa Barat mempunyai Luas 46.890 km persegi. Wilayah jawa Barat berbatasana denga wilayah Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, Laut Jawa dan DKI Jakarta di sebelah Utara, provinsi banten disebelah Barat, dan samudra Hindia di sebelah Selatan. Sungai Cilosari dan Sungai Citaduy merupakan batas alam antara wilayah Provinsi Jawa Barat dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Minggu, 27 Mei 2012

KESIMPULAN


Agama adalah sebuah keyakinan yang diyakini oleh suatu individu maupun kelompok dengan tujuan mendekatkan diri kepada satu Dzat yang dianngap agung agar memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Sedangkan kebudayaan adalah sebuah tradisi yang terus terulang yang tidak termakan oleh zaman sehingga kebudayaan akan terus ada selama khalayak ingin melestarikan kebudayaan yang menjadi kebanggaan individu, kelompok, agama, maupun etnisnya.
Relasi adalah suatu ikatan atau hubungan yang terlihat secara langsung ataupun tidak langsung dari suatu hal. Dengan kata lain, apabila agama dan kebudayaan dicari sebuah relasinya maka akan dengan mudah terlihat bahwa agama dan kebudayaan memiliki relasi yang sangat erat.
Contohnya, seni kebudayaan debus adalah seni memperlihatkan kesaktian seseorang dengan menggunakan ritual agama terlebih dahulu. Dengan maksud agar para pemain debus ketika beraksi tetap mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Wisata yang ada di Banten


1.    Masjid Agung Banten


Masjid Agung Banten adalah masjid tertua yang berada di Banten.
2.    Taman Nasional Ujung Kulon
Taman Nasional Ujung Kulon merupakan salah satu taman nasional dan lokasi konversi alam yang penting di Indonesia dan Dunia. Selain keindahan hutan tropis dataran rendah, badak bercula satu juga merupakan primadona daya tarik dari lokasi ini.
Taman Nasional ini terletak di Semenanjung paling barat Pulau Jawa, ditambah dengan beberapa pulau kecil seperti halnya Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, dan Pulau Panaitan. Titik tertinggi adalah Gunung Honje. Ciri khas taman nasional ini adalah perannya sebagai habitat alami berbagai jenis hewan yang dilindungi, seperti badak jawa, rusa, kijang, banteng, dan berbagai jenis primate, babi hutan, kucing hutan, kukang, serta aneka jenis burung.
Kawasan ini dapat dicapai melalui Labuan atau melalui jalan laut dengan perahu menuju salah satu pulau yang ada. Ujung Kulon telah dilengkapi dengan berbagai sarana jaringan telekomunikasi, listrik, dan air bersih.
Sarana pariwisata seperti penginapan, pusat informasi, pemandu wisata, dan sarana transportasi juga telah tersedia. UNESCO telah menyatakan bahwa area Ujung Kulon merupakan situs cagar alam warisan dunia.
3.    Pulau Dua/Pulau Burung
Daya tarik utama kawasan ini adalah keindahan alam laut berupa gugus karang, berbagai jenis ikan laut, dan tentu saja berbagai jenis burung. Luas kawasan ini sekitar 30 ha. Setiap tahun antara bulan April dan Agustus, pulau ini dikunjungi oleh beribu-ribu burung dari 60 jenis yang berasal dari berbagai negara. Sekitar empat puluh ribu burung-burung tersebut terbang dari benua Australia, Asia, dan Afrika.
Pulau Dua bisa dicapai dengan perahu tradisional atau perahu motor; atau dengan berjalan kaki dalam waktu 15 s/d 30 menit melalui daerah pertambakan di Desa Sawah Luhur, Kasemen. Memang, akibat sedimentasi selama puluhan tahun, pulau ini telah menyatu dengan daratan Jawa.
4.    Pulau Umang
Pulau Umang memiliki luas sekitar 5 Ha, dan terletak di kawasan objek wisata pantai Pandeglang, berdekatan dengan kawasan wisata Tanjung Lesung. Kawasan wisata ini dikelola oleh sebuah perusahaan swasta yang menyediakan berbagai fasilitas rekreasi dan hiburan yang menarik. Di pulau ini, terdapat resort yang ditata dengan sentuhan artistik alami, dilengkapi dengan ruang pertemuan, kafe, spa, pusat bisnis, sunset lounge, klub pantai, kolam renang dan sebagainya. Selain itu, tersedia fasilitas olahraga dan rekreasi air, jogging track, cross country, lapangan tenis, tempat karaoke, dan lain-lain. Kita dapat menuju ke pulau ini dengan relatif mudah. Perusahaan pengelola kawasan ini menyediakan rental mobil dari Jakarta menuju pulau ini, atau dapat juga dicapai dari kawasan Ujung Kulon.
5.    Gunung Krakatau
Gunung Krakatau yang sebenarnya termasuk wilayah propinsi Lampung ini terletak di perairan selat Sunda. Dan merupakan salah satu gunung yang paling terkenal di dunia, karena letusannya yang dahsyat pada tahun 1883. Suara letusan terdengar sampai ke kawasan benua Australia, bahkan awan panasnya menyelimuti beberapa kawasan Eropa selama seminggu.
Ledakan dahsyat gunung Krakatau kemudian membentuk anak gunung yang kini dikenal sebagai Anak Krakatau yang muncul ke permukaan pada tahun 1928 yang hingga kini masih tetap aktif. Meski berada di Selat Sunda serta wilayah Lampung, kawasan wisata alam ini lebih mudah dicapai dari pantai Anyer-Carita dan izin mendarat di Pulau Gunung Api Anak Krakatau juga bisa diperoleh di kawasan ini, dibutuhkan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan perahu motor cepat untuk mencapainya. Lokasi wisata ini menawarkan wisata alam seperti misalnya berkemah, berjalan kaki, memancing, dan pemandangan alam laut yang indah.
6.    Rawadano
Rawadano atau nama lain Cagar Alam Rawa Danau terletak di kabupaten Serang, dan berjarak 101 km dari Jakarta. Kawasan ini merupakan kawasan yang didominasi rawa-rawa, juga terdapat sebuah danau. Luas kawasan ini sekitar 2.500 ha yang ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon. Pulau ini menjadi tempat bersarang bagi aneka jenis binatang reptil, seperti ular dan buaya. Tidak kurang dari 250 jenis burung bermukim di kawasan ini. Kita dapat mencapai lokasi ini melalui tiga jalur, yaitu: Jakarta-Cilegon-Anyer-Rawaadano, Jakarta-Serang-Padarincang-Rawadano, dan Jakarta–Serang-Anyer-Cinangka-Padarincang-Rawadano.
7.    Kang dan Nong Banten
Kang dan Nong Banten adalah sebutan untuk Duta Wisata, Pemuda Dan Pembangunan Provinsi Banten. Dilaksanakan pertama kali pada tahun 2000 dan diikuti oleh 3 kabupaten yakni Cilegon, Serang dan Pandeglang. Baru pada tahun 2001 Tangerang dan Lebak ikut serta. Kabupaten Tangerang tercatat sebagai kabupaten tersukses sepanjang penyelenggaraan Kang dan Nong Banten. Tercatat 10 gelar Juara Utama direngkuh Kang Nong Kabupaten Tangerang, bahkan untuk gelar Kang disabet oleh kabupaten tangerang berturut-turut tanpa putus. Prestasi terbaik kabupaten Tangerang diukir pada tahun 2008 dimana Kabupaten Tangerang menyabet 7 dari 12 gelar yang diperebutkan. Dengan tambahan 7 gelar tersebut Kabupaten Tangerang secara total telah merebut 30 gelar juara sejak keikutsertaan pertama mereka pada 2001.

Kristen Katolik di Banten


Kristen Katolik tiba di Nusantara saat kedatangan bangsa Portugis yang berdagang rempah-rempah. Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan paham Katolik Roma di Nusantara, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Francis Xavier, mengunjungi pulau itu dan membaptis beberapa ribu penduduk lokal. Selama masa VOC, banyak praktisi paham Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan kebijakan VOC yang mengutuk agama itu.
Yang paling tampak adalah di Flores dan Timor Timur, dimana VOC berpusat. Lebih dari itu, para imam Katolik Roma telah dikirim ke penjara atau dihukum dan digantikan oleh para imam Protestan dari Belanda. Seorang imam Katolik Roma telah dieksekusi karena merayakan misa kudus di suatu penjara semasa Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai gubernur Hindia-Belanda. Dan alhamdulillah Katolik di Banten sedikit.

Kristen Protestan


Kristen Protestan berkembang di Nusantara selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke 16 M. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Nusantara.
Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke 20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Nusantara, seperti di wilayah Barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, semua orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak menerima secara seimbang hak-hak sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota, sebagian besar dari mereka merasa gelisah atas cita-cita politik partai Islam.

Budha di Banten



Periode klasik tua Jawa Barat dimaksudkan sebagai periode budaya yang sejaman dengan Kerajaan Tárumanágara. Kerajaan Tárumanágara meninggalkan beberapa prasasti yang juga diperkuat dengan beberapa berita asing yang menyebutkan tentang keberadaan Tárumanágara. Namun demikian data yang ada tersebut belum dapat dipakai untuk mengungkap sejarah kerajaan tersebut secara menyeluruh.
Prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Tárumanágara yang pernah ditemukan yaitu prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebonkopi I, Tugu, Pasir Awi dan Muara Cianten, serta prasasti Cidanghiang (Sumadio, 1990: 39-42). Prasasti Ciaruteun dikenal juga dengan nama prasasti Ciampea ditemukan di Ciampea, Bogor, pada pinggir sungai Ciaruteun. Prasasti ini terdiri empat baris dalam bentuk puisi India dengan iramaanustubh, menyebutkan nama Purnawarman raja negeri Táruma. Selain itu terdapat lukisan labah-labah dan tapak kaki yang dipahatkan di atas hurufnya.
Prasasti Pasir Koleangkak ditemukan di Bukit (Pasir) Koleangkak, Bogor. Di dalamnya disebutkan nama raja Sri Purnawarman yang memerintah di Táruma. Prasasti Kebonkopi terletak di kampung Muara Hilir, Cibungbulang, ditulis dalam bentuk puisi anustubh. Pada prasasti ini terdapat pahatan dua tapak kaki gajah yang dipersamakan dengan tapak Airawata.
Prasasti Tugu ditemukan di Tugu, Jakarta merupakan prasasti terpanjang dari masa Purnawarman. Tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar, berbentuk puisianustubh. Di dalamnya menyebutkan adanya dua buah sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati. Selain itu juga disebutkan adanya upacara selamatan yang dilakukan oleh Brahmana.
Prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten ditulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini juga terdapat gambar tapak kaki. Prasasti Cidanghiang ditemukan di kampung Lebak, Kecamatan Munjul, Pandeglang pada pinggir sungai Cidanghiang berisi dua baris berhuruf Pallawa yang juga berbentuk puisianustubh. Isi prasasti memuliakan nama raja Purnawarman.
Berita asing yang menyebut kerajaan Táruma berasal dari Cina. Berita dari masa dinasti Soui mengatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari To-lo-mo. Tahun 666 dan 669 pada masa dinasti T’ang Muda juga datang utusan dari To-lo-mo(Sumadio, 1990: 43-44).
Dalam sejarah lama dinasti Sung disebutkan bahwa Ho-lo-tan di She-po pernah mengirim utusan ke Negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, 436, 437, dan terakhir 452. Menurut O.W. Wolters sebutan She-po adalah Jawa sedangkan Ho-lo-tan berada di Jawa Barat (Wolters, 1967: 160-161). Sebutan Ho-lo-tan sangat bersesuaian bunyi dengan Aruteun. Berdasarkan kesesuaian bunyi tersebut Slamet Mulyana menyimpulkan bahwa Ho-lo-tan adalah kerajaan Aruteun yang berpusat di muara Ci Aruteun. Dengan melihat catatan Cina kerajaan ini mulai mundur pada tahun 452 dan selanjutnya ditaklukkan Táruma (Mulyana, 1980: 7-15). Menurut Satyawati Suleiman berdasarkan teori L. Ch. Damais yang menyatakan bahwa Ho adalah Wa maka Ho-lo-tan mungkin berasal dari Waratan. Ci sama dengan Cai, dan Ca di Jawa Barat kadang-kadang menjadi Wa misalnya caringin menjadi waringin. Cai adalah Wai kata untuk air atau sungai maka Ho-lo-tan mungkin wairatan sekarang menjadi ciaruteun (Suleiman, 1980: 378-379). Berdasarkan prasasti dan berita Cina dapat disimpulkan bahwa pada jaman klasik tua di Jawa Barat terdapat kerajaan Táruma yang pernah menaklukkan kerajaan Aruteun (Ho-lo-tan). Mengenai kondisi sejarah klasik tua Jawa Barat memang cenderung masih debatable.
Berdasarkan data yang ada diduga kerajaan Tárumanágara berlangsung dari abad V hingga akhir abad VII M. Runtuhnya Tárumanágara diperkirakan karena serangan Sriwijaya. Pada prasasti Kotakapur (686 M) dan Palaspasemah disebutkan bahwa Sriwijaya akan menyerang Bhũmijawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Banyak pendapat mengenai sebutan Bhũmijawa. P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa katajawa berarti luar negeri. Boechari berpendapat yang dimaksudbhũmijawa dalam prasasti Kotakapur adalah nama daerah di Lampung Selatan. Sedangkan G. Coedès dan Satyawati Suleiman berpendapat bahwa yang dimaksud bhũmijawa adalah kerajaan Táruma, yang sejak tahun 666 – 669 M sudah tidak lagi mengirimkan utusan ke Cina. Ekspansi kekuasaan Sriwijaya di Jawa juga diperkuat dengan adanya prasasti Juru Pangambat di Jawa Barat dan prasasti Gondosuli di daerah Kedu, Jawa Tengah (Sumadio, 1990: 58).
b. Periode Klasik Muda
Runtuhnya Tárumanágara kemudian digantikan oleh Kerajaan Sunda. Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat bernama regño de çumda telah mengadakan hubungan dagang dengan Portugis (Cortesão, 1967: 412-416). Berita Cina dari dinasti Ming menye­but-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960: 44). Prasasti Kebon Kopi (854 Ś atau 932 M) atau juga disebut prasasti Juru Pangambat, Bogor menyebut adanya ba(r) pulihkan haji sunda (Sumadio, 1990: 356).
Prasasti lebih muda yang menyebut Kerajaan Sunda yaitu prasastiSanghyang Tapak berangka tahun 952 Ś atau 1030 M. Dalam prasasti ini disebut tokoh yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswara­nindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda. Sri Jayabhupati, dalam naskah Carita Parahyangan dapat disejajarkan dengan Sang Rakeyan Darmasiksa (Sumadio, 1990: 360-364).
Prasasti Kawali I sampai VI yang ditemukan di situs Astana Gede, Kawali diantaranya menyebut pemerintahan Prabu Raja Wastu yang kerajaannya beribukota di Kawali. Prasasti Kawali I – VI beraksara dan berbahasa Sunda Kuna. Prasasti-prasasti itu tidak mencantumkan angka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk paleografi dan bahasanya dapat diperkirakan berasal dari abad XIV (Nastiti, 1996: 26). Nama Prabu Raja Wastu juga terdapat pada prasasti lainnya yaitu prasasti Batutulis (Purbacaraka, 1921) dan pra­sasti Kebantenan (Buchari, 1985: 104). Pada kedua prasasti itu disebut Rahyang Niskala Wastu Kañcana.
Dari prasasti Kebantenan dapat diperoleh mengenai raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu Kañcana digan­tikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup) Niskala Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga (Ayatrohaédi, 1986: 26).
Sepeninggal Wastu Kañcana, pemerintahan di Kerajaan Sunda digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebutSusuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (Yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 368-369). Menurut berita Portugis dari Tomé Pires, pada masa ini sudah mulai ada penetrasi dari masyarakat Islam (Cortesão, 1944: 1973). Sejak itulah Kerajaan Sunda mulai memasuki masa kemundurannya.
BEBERAPA TINGGALAN ARKEOLOGITinggalan arkeologi masa klasik cenderung berupa arca atau bangunan candi. Bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jawa Barat merupakan kawasan yang sangat miskin candi. Satu-satunya candi yang telah dibina kembali adalah Candi Cangkuang di Garut. Penelitian yang pernah dilakukan di Jawa Barat telah menemukan beberapa candi. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pernah mengadakan penelitian di Candi Ronggeng Dusun Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Ciamis. Penelitian itu berhasil menampakkan struktur batu yang merupakan sisa bangunan candi. Selain itu juga ditemukan arca nandi dan yoni (Yondri dan Etty, 2000: 102).
Situs Batu Kalde di Semenanjung Pangandaran, Ciamis terdapat arca nandi dan batu-batu candi. Setelah dilakukan ekskavasi terlihat struktur yang terdiri antara satu hingga tiga lapis. Di bawah struktur terdapat batu karang yang dipadatkan. Bangunan terdiri dari dua yang salah satunya berdenah segi empat dengan ukuran 12 X 12 m. Bentuk bangunan diperkirakan hanya berupa selasar dengan bagian atap merupakan bangunan dari bahan yang mudah rusak (Ferdinandus, 1990: 292-296).
Di Daerah Karawang terdapat situs Batujaya. Penelitian selama ini telah menampakkan beberapa struktur bangunan candi dan kolam. Selain itu juga ditemukan arca kepala, hiasan bangunan yang terbuat dari stucco, dan votive tablet yang kesemuanya mencirikan agama Buda. Berdasarkan temuan yang ada diperkirakan situs Batujaya berasal dari dua tahap yaitu tahap pertama abad V-VII M (masa Tarumanagara) dan tahap kedua abad VII-X M (masa pengaruh Sriwijaya). Beberapa candi ini memiliki fungsi yang khas seperti candi induk, candi peribadatan, candi penghormatan, kolam, dan sebagainya (Djafar, 2001: 3-4).
Situs candi yang terakhir ditemukan adalah situs Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Situs ini ditemukan pada bulan Agustus 2002 dan selanjutnya pada bulan September 2002 dilakukan ekskavasi. Hasil ekskavasi menunjukkan candi terbuat dari batuan volkanik. Bagian yang tersisa adalah kaki candi. Profil kaki menunjukkan bingkai padma yang dipadu dengan bingkai persegi. Denah bangunan segi empat berukuran 6 X 6 m. Indikator tangga masuk ditemukan di sisi timur. Berdasarkan profil kaki tersebut diperkirakan Candi Bojongmenje berasal dari abad VII atau VIII (Djubiantono dan Saptono, 2002). Analisis C14 terhadap tanah yang mengandung karbon, menghasilkan penanggalan Candi Bojongmenje pada 1300 BP atau 650 AD.[1]
Kegiatan pasca ekskavasi di situs Bojongmenje menemukan beberapa data baru yang cukup signifikan. Pada waktu pendirian pagar pengaman telah ditemukan fragmen yoni dan bagian kemuncak. Selanjutnya ketika dilakukan persiapan pemugaran ditemukan batu bagian tubuh candi, antefik, fragmen arca nandi, dan kemuncak. Di sebelah timur (depan) candi ditemukan struktur bangunan lain yang terbuat dari bata. Berdasarkan temuan-temuan ini dapat disimpulkan bahwa struktur Candi Bojongmenje merupakan bangunan yang lengkap mulai dari kaki, tubuh, dan puncak. Dengan ditemukannya fragmen yoni dan fragmen arca nandi menunjukkan sifat Hinduistis.
Selain bangunan candi, di Jawa Barat banyak ditemukan situs yang bercorak seperti bangunan megalitik tetapi mengandung unsur klasik. Bangunan-bangunan seperti ini tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat terutama di dataran tinggi. Situs-situs dengan bangunan seperti ini dikenal dengan sebutan kabuyutan. Berdasarkan isi prasasti dan naskah kuna, kabuyutankabuyutanmerupakan suatu ideologi yang diwariskan secara turun temurun melalui ketaatan terhadap pikukuh. Dalam hal ini kabuyutandianggap sebagai pusat kekuatan batin (Saringendyanti, 1996: 30-31).
AKHIR PEMIKIRAN
Jawa Barat memang merupakan kawasan yang miskin candi bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini bangunan candi atau unsur bangunan candi telah ditemukan yaitu komplek percandian Batujaya di Karawang, Candi Cangkuang di Garut, situs Tenjolaya di Cicalengka, serta candi Ronggeng dan candi Pananjung di Ciamis. Penemuan candi di Kampung Bojongmenje menjadikan pemicu untuk menelaah perkembangan peradaban masa klasik di Jawa Barat.
Prasasti dan berita Cina menyebutkan bahwa pada abad V sudah ada institusi berupa kerajaan yang merupakan pusat peradaban. Di daerah Bogor sekarang setidaknya tercatat dua kerajaan yang pernah berdiri. Kerajaan Aruteun (Ho-lo-tan) kemudian ditaklukkan oleh Táruma (To-lo-mo). Kerajaan Táruma akhirnya mengalami masa kemunduran. Setelah masa ini Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan hingga muncul kembali pada tahun 932 M sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kebon Kopi.
Masa antara 686 hingga 932 walupun secara politis merupakan masa kekosongan, namun peradaban tetap berjalan. Beberapa candi yang diperkirakan berasal dari masa kekosongan itu menunjukkan bahwa peradaban tidak mengalami stagnasi. Apabila suatu institusi kekuatan politik dijadikan indikator sebagai pusat peradaban, maka masa antara 686 hingga 932 tidak berarti masa tanpa kekuatan politik. Mungkin kekuatan politik ketika itu berada di bawah kontrol kekuatan politik yang lebih besar.
Hipotesis yang menyatakan bahwa percandian Batujaya berasal dari dua tahap yaitu tahap pertama abad V-VII M (masa Tárumanágara) dan tahap kedua abad VII-X M (masa pengaruh Sriwijaya) perlu dilakukan penjelasan. Masa Tárumanágara telah banyak meninggalkan data sejarah berupa prasasti. Sesudah masa itu tidak ada lagi prasasti yang ditemukan. I’tsing pada tahun 692 menyebut salah satu negara di Laut Selatan yaitu Mo-ho-sin sesudah Shih-li-fo-shih dan Ho-ling. Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya sedangkan Ho-ling adalah Keling di lembah S. Brantas, Jawa Timur. Wolters berpendapat bahwa Mo-ho-sin terletak di Jawa Barat (Wolters, 1967: 241-245). Mo-ho-sin adalah bhagasin yang artinya berbahagia. Bhagasin oleh I’tsing ditransliterasikan menjadi Mo-ho-sin. Kata bhagasin sekarang menjadi Bekasi (Mulyana, 1980: 32-37). Dengan demikian percandian di Batujaya pada tahap kedua merupakan percandian dari masa Bhagasin yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Candi-candi di kawasan timur Jawa Barat (Ciamis) juga merupakan indikator pusat peradaban. Patut disayangkan candi-candi di kawasan ini belum dapat diperkirakan titimangsanya. Di kawasan ini menurut Carita Parahyangan berkaitan dengan tokoh Sañjaya. Tokoh ini juga tertulis pada prasasti Canggal (732 M). Di dalam prasasti tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubun­gan darah. Carita Parahyangan menghubungkan tokoh Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh, karena di situ dikatakan bahwa Sena, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut, Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat di Galuh (Sumadio, 1990: 357-358).
Dalam hubungannya dengan Candi Bojongmenje, kawasan ini menunjukkan sebagai pusat peradaban Hindu. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Neder­landsch-Indie (ROD) 1914 yang disusun oleh N.J. Krom belum memuat adanya objek purbakala di sekitar Rancaekek. Dalam laporan itu dimuat adanya runtuhan candi di Tenjolaya, Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di Cibeeut ditemukan patung Ganeśa (Krom, 1915: 48-49). Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat setempat disebut pamujan.Di situs ini pernah ditemukan patung Durga (Iskandar, 1997: 104).
Kawasan ini berhubungan dengan kendan yang sekarang menjadi nama desa. Menurut J. Noorduyn kendan merupakan “perusakan” dari kata kaindraan. Dalam Carita Parahyangan daerah Kendan ada kaitannya dengan kehadiran Wretikandayun. Tokoh ini adalah ayah Rahyang Mandiminyak atau kakek Sañjaya (Ayatrohaedi, 2002: 2-3). Meskipun secara pasti kaitan antara Bojongmenje dengan masa awal kerajaan Sunda belum dapat dipastikan, namun sedikit gambaran ini dapat dijadikan bahan renungan sementara. Dengan demikian beberapa tinggalan arkeologi dari masa klasik, khususnya bangunan candi, yang pada akhir-akhir ini ditemukan di Jawa Barat dapat dijadikan bahan pemikiran bahwa walaupun secara politis di Jawa Barat pernah mengalami masa kekosongan, namun perkembangan peradaban tetap berlangsung. Di Jawa Barat, antara masa Tárumanágara dan Kerajaan Sunda terdapat masa yang perlu pengkajian mendalam.

Mungkin tidaklah berlebihan bahwa Bumi Nusantara adalah Bumi yang paling banyak macam-macam agama yang ikut mewarnai Bumi Nusantara. Entah berapa jumlahnya yang pasti agama Budha pun turut serta menghiasi Nusantara. Tentang agama ini, lagi-lagi dengan melihat historis tentang Bumi Nusantara yang sudah dari dulu menjadi persinggahan utama dan penghubung pedagang dari berbagai negara.
Peziarah Buddha, yang melakukan ritual keagamaan mereka di Borobudur, Buddha merupakan agama tertua kedua di Nusantara, tiba pada sekitar abad ke-6 Masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Bumi Nusantara, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.
Begitupun Banten, walaupun Budha Kurang menguasai Banten akan tetapi masih banyak di temui acra-arca walaupun tidak sebesar Candi Borobudur dll, akan tetapi setidaknya sedikit menjelaskan Budha pernah mewarnai Banten.