Minggu, 27 Mei 2012

Islam


Penyebaran agama Islam di Tatar Sunda, dilakukan melalui rangkaian peristiwa yang amat panjang dalam lingkaran kebudayaan (kulturkreise) yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya. Dalam peristiwa tersebut terjadi interaksi antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda.[1] Menurut Harsoyo (1979: 311), “Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda”. Atas perihal yang sama, hubungan antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda telah berlangsung sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tatar Sunda. Hal itu terjadi secara terus menerus, karena “agama Islam ternyata diterima dengan damai oleh orang Sunda” (Ajip Rosidi, 1984: 6). Berkenaan dengan hal itu, pengaruh agama Islam tampak dalam komunitas Sunda, tanpa kehilangan identitas kesundaan. Bahkan, melahirkan identitas baru, yakni Muslim-Sunda atau Sunda-Muslim.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan suatu gambaran mengenai Islam-Sunda, atau Sunda-Islam, yang dikemukakan secara ringkas dan sederhana. Dalam kenyataannya boleh jadi gambaran tersebut sangat rumit, yang memerlukan penelaahan secara cermat dan hati-hati. Boleh jadi hubungan antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda terdiri atas beberapa bentuk, yang terkena hukum perubahan. Pertama, kemungkinan terjadi konflik antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda, baik secara tersembunyi (latent) maupun secara nyata (manifest), yang berpangkal dari inti kebudayaan yang berbeda. Kedua, kemungkinan terjadi koeksistensi atau adhesi antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda tanpa saling intervensi dan mengganggu. Ketiga, kemungkinan terjadi integrasi atau kohesi, baik dalam wujud perembesan agama Islam ke dalam kebudayaan Sunda, atau adaptasi kebudayaan Sunda terhadap agama Islam, baik secara simbolis maupun substansial, sebagaimana digambarkan dalam uraian ringkas di atas.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya – budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara – acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4 hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi (penghormatan terhadap tokoh Dewi Sri), dan peringatan hari – hari besar nasional.Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada hal yang perlu diperjelas yaitu Islam sebagai realitas budaya yang disebut juga dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local). Seperti pergeseran budaya keagamaan yang ada di suku Sunda :Jenis tradisi Wacana masa lalu Wacana masa sekarangMunjung Nyuguh ZiarahBongkar bumi Kepercayaan terhadap leluhur TasyakuranBongkar bumi Sesaji atau disebut juga nyuguh Memanjatkan do’a kepada Allah melalui tahlilan dan pengajian.




Berdirinya kesultanan merupakan titik awal dari kesejarahan Banten yang menjadi identitas diri dan kenangan yang tidak pernah mati di sebagian mayoritas masyarakat. Karena itu tidak heran apabila tempat-tempat suci yang ramai dikunjungi masyarakat adalah bekas reruntuhan istana kerajaan, kompleks makam Keraton dan tempat-tempat terpencil yang menjadi lokasi pertapaan para pemimpin politik dan agama kesultanan Banten.
Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana Hasanuddin, yang hingga kini merupakan salah satu tokoh penting dalam riwayat kehidupan masyarakat Banten.
Maulana Hasanuddin dan ayahnya Syarif Hidayatullah datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka datang di Banten Girang, kemudian menuju Selatan, ke gunung Pulasari, tempat bersemayamnya 800 Ajar yang dikepalai oleh Pucuk Umum. Diatas gunung Pulasari ini Hasanuddin melakukan ‘tapa’dan menerima pelajaran tentang agama islam dari Syarif Hidayatullah. Setelah dipandang cukup, Hasanuddin pergi keseluruh anak negeri. Ia pernah tinggal di Gunung Pulasari, Gunung Karang dan Gunung Lor, bahkan sampai ke pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam menyebarkan ajaran islam kepada penduduk Pribumi, Hasanuddin mempergunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, yakni menyambung Ayam dan mengadu kesaktian. Dengan cara seperti itu Hasanuddin berhasil mengalahkan Pucuk Umum, sehingga 800 Ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, bersedia Memeluk agama islam dan menjadi pengikut Hasanuddin. Dengan takluknya Pucuk Umum dan para pengikutnya, Hasanuddin memindahkan Pusat Pemerintahan Banten dari pedalaman yakni Banten Girang (3 km dari kota serang) ke daerah Pesisir, yang kemudian di kenal dengan nama Surosowan. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan 8 Oktober 1526.
Kejayaan kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Maulana Hasanuddin Banten wafat (1570 M). Para pengganti beliau yakni : Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana Muhammad (1580-1596), Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651) dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672), terus berusaha memperluas kekuasaan kesultanan Banten. Sehingga wilayah kesultanan Banten meliputi juga daerah Jayakarta, Kerawang, Bogor.
Hasanuddinn berhasil mengubah daerah nelayan kecil menjadi sebuah Ibu Kota Negara, dengan pelabuhannya yang di datangi para pedadang manca Negara. Sehingga pemindahan pusat pemerintahan dari daerah pedalaman ke pesisir sangat menguntungkan baik dalam bidang politik maupun sosial-ekonomi. Karena dengan di pindahnya pusat kota itu maka hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di pesisir Jawa, Sumatera, bahkan hubungan dengan kerajaan luar Nusantara pun dapat terjalin dengan mudah.
Pelabuhan Banten, yang dulu hanya pelabuhan kecil, pada masa Maulana Hasanuddin telah berubah menjadi Bandar besar yanga menjadi persinggahan utama penghubung antara pedagang dari Arab, Persi, India dan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dengan keadaan seperti itu, Banten telah menjadi kesultanan yang paling penting di Nusantara. Hal ini tentunya mendatangkan kemakmuran ekonomi dan kebanggaan bagi para penduduknya. Sesuatu yang tidak pernah di rasakan oleh masyarakat Banten pada masa-masa sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar