Penyebaran agama
Islam di Tatar Sunda, dilakukan melalui rangkaian peristiwa yang amat panjang
dalam lingkaran kebudayaan (kulturkreise)
yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya. Dalam peristiwa tersebut terjadi
interaksi antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda.[1] Menurut Harsoyo (1979: 311), “Karena agama Islam telah lama dipeluk
oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama,
dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan
kebudayaan orang Sunda”. Atas perihal yang sama, hubungan antara agama Islam
dengan kebudayaan Sunda telah berlangsung sejak masuk dan berkembangnya Islam
di Tatar Sunda. Hal itu terjadi secara terus menerus, karena “agama Islam
ternyata diterima dengan damai oleh orang Sunda” (Ajip Rosidi, 1984: 6). Berkenaan
dengan hal itu, pengaruh agama Islam tampak dalam komunitas Sunda, tanpa
kehilangan identitas kesundaan. Bahkan, melahirkan identitas baru, yakni Muslim-Sunda atau Sunda-Muslim.
Berdirinya kesultanan merupakan titik awal dari kesejarahan Banten yang menjadi identitas diri dan kenangan yang tidak pernah mati di sebagian mayoritas masyarakat. Karena itu tidak heran apabila tempat-tempat suci yang ramai dikunjungi masyarakat adalah bekas reruntuhan istana kerajaan, kompleks makam Keraton dan tempat-tempat terpencil yang menjadi lokasi pertapaan para pemimpin politik dan agama kesultanan Banten.
Apa yang
dikemukakan di atas merupakan suatu gambaran mengenai Islam-Sunda, atau
Sunda-Islam, yang dikemukakan secara ringkas dan sederhana. Dalam kenyataannya
boleh jadi gambaran tersebut sangat rumit, yang memerlukan penelaahan secara
cermat dan hati-hati. Boleh jadi hubungan antara agama Islam dengan kebudayaan
Sunda terdiri atas beberapa bentuk, yang terkena hukum perubahan. Pertama,
kemungkinan terjadi konflik antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda, baik
secara tersembunyi (latent)
maupun secara nyata (manifest),
yang berpangkal dari inti kebudayaan yang berbeda. Kedua, kemungkinan terjadi
koeksistensi atau adhesi antara agama Islam dengan kebudayaan Sunda tanpa
saling intervensi dan mengganggu. Ketiga, kemungkinan terjadi integrasi atau
kohesi, baik dalam wujud perembesan agama Islam ke dalam kebudayaan Sunda, atau
adaptasi kebudayaan Sunda terhadap agama Islam, baik secara simbolis maupun
substansial, sebagaimana digambarkan dalam uraian ringkas di atas.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia
telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama
lain. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya – budaya local ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.Aspek akulturasi budaya
local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang
seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis
cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si
tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local
pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang
mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk
kini biasa disajikan pada acara – acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati
kelahiran bayi ke-4 hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi
(penghormatan terhadap tokoh Dewi Sri), dan peringatan hari – hari besar
nasional.Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada hal yang
perlu diperjelas yaitu Islam sebagai realitas budaya yang disebut juga dengan
little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local). Seperti
pergeseran budaya keagamaan yang ada di suku Sunda :Jenis tradisi Wacana masa
lalu Wacana masa sekarangMunjung Nyuguh ZiarahBongkar bumi Kepercayaan terhadap
leluhur TasyakuranBongkar bumi Sesaji atau disebut juga nyuguh Memanjatkan do’a
kepada Allah melalui tahlilan dan pengajian.Berdirinya kesultanan merupakan titik awal dari kesejarahan Banten yang menjadi identitas diri dan kenangan yang tidak pernah mati di sebagian mayoritas masyarakat. Karena itu tidak heran apabila tempat-tempat suci yang ramai dikunjungi masyarakat adalah bekas reruntuhan istana kerajaan, kompleks makam Keraton dan tempat-tempat terpencil yang menjadi lokasi pertapaan para pemimpin politik dan agama kesultanan Banten.
Dalam
Babad Banten diceritakan bahwa Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana
Hasanuddin, yang hingga kini merupakan salah satu tokoh penting dalam riwayat
kehidupan masyarakat Banten.
Maulana
Hasanuddin dan ayahnya Syarif Hidayatullah datang dari Pakungwati (Cirebon)
untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka datang di Banten Girang,
kemudian menuju Selatan, ke gunung Pulasari, tempat bersemayamnya 800 Ajar yang
dikepalai oleh Pucuk Umum. Diatas gunung Pulasari ini Hasanuddin
melakukan ‘tapa’dan menerima pelajaran tentang agama islam dari Syarif
Hidayatullah. Setelah dipandang cukup, Hasanuddin pergi keseluruh anak negeri.
Ia pernah tinggal di Gunung Pulasari, Gunung Karang dan Gunung Lor, bahkan
sampai ke pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam
menyebarkan ajaran islam kepada penduduk Pribumi, Hasanuddin mempergunakan
cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, yakni menyambung Ayam dan
mengadu kesaktian. Dengan cara seperti itu Hasanuddin berhasil mengalahkan Pucuk
Umum, sehingga 800 Ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong
dan Agus Jo, bersedia Memeluk agama islam dan menjadi pengikut Hasanuddin.
Dengan takluknya Pucuk Umum dan para pengikutnya, Hasanuddin memindahkan
Pusat Pemerintahan Banten dari pedalaman yakni Banten Girang (3 km dari kota
serang) ke daerah Pesisir, yang kemudian di kenal dengan nama Surosowan.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharram
933 H yang bertepatan dengan 8 Oktober 1526.
Kejayaan
kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Maulana Hasanuddin Banten wafat
(1570 M). Para pengganti beliau yakni : Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana
Muhammad (1580-1596), Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651) dan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1672), terus berusaha memperluas kekuasaan kesultanan
Banten. Sehingga wilayah kesultanan Banten meliputi juga daerah Jayakarta,
Kerawang, Bogor.
Hasanuddinn
berhasil mengubah daerah nelayan kecil menjadi sebuah Ibu Kota Negara, dengan
pelabuhannya yang di datangi para pedadang manca Negara. Sehingga pemindahan
pusat pemerintahan dari daerah pedalaman ke pesisir sangat menguntungkan baik
dalam bidang politik maupun sosial-ekonomi. Karena dengan di pindahnya pusat
kota itu maka hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di pesisir Jawa, Sumatera,
bahkan hubungan dengan kerajaan luar Nusantara pun dapat terjalin dengan mudah.
Pelabuhan
Banten, yang dulu hanya pelabuhan kecil, pada masa Maulana Hasanuddin telah
berubah menjadi Bandar besar yanga menjadi persinggahan utama penghubung antara
pedagang dari Arab, Persi, India dan Cina dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dengan keadaan seperti itu, Banten telah
menjadi kesultanan yang paling penting di Nusantara. Hal ini tentunya
mendatangkan kemakmuran ekonomi dan kebanggaan bagi para penduduknya. Sesuatu
yang tidak pernah di rasakan oleh masyarakat Banten pada masa-masa sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar